Daftar Isi

Minggu, 22 April 2012

Jangan Tertipu dengan Orang yang Memperjuangkan Islam

Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga, para sahabat dan orang-orang yang mengikuti mereka hingga akhir zaman.
Seringkali kita mendengar seruan saudara kita untuk berjihad, untuk membela Islam melalui parlemen, atau membela Islam melalui penegakan khilafah. Mereka betul-betul semangat dalam hal ini. Namun janganlah tertipu. Tidaklah semua yang mengaku membela dan memperjuangkan Islam itu benar dan menempuh jalan yang benar. Barangkali mereka adalah orang-orang yang fajir dan bermaksiat pada Allah dengan perjuangan mereka. Barangkali jalan yang mereka tempuh itu keliru.

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّهُ لاَ يَدْخُلُ الْجَنَّةَ إِلاَّ نَفْسٌ مُسْلِمَةٌ ، وَإِنَّ اللَّهَ لَيُؤَيِّدُ هَذَا الدِّينَ بِالرَّجُلِ الْفَاجِرِ

Sesungguhnya tidak akan masuk surga orang kecuali jiwa yang muslim. Namun boleh jadi Allah akan memperjuangkan agama ini melalui orang yang fajir (bermaksiat).” (HR. Bukhari dan Muslim)

Hadits di atas adalah cuplikan dari sebuah hadits dari Abu Hurairah Radhiallahu’anhu, beliau mengatakan:
“Kami pernah bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Lalu beliau mengatakan pada orang yang mengaku Islam, “Dia termasuk penduduk neraka.” Ketika mengikuti peperangan, orang tersebut begitu semangat. Namun ia terkena luka parah. Kemudian ada yang berkata pada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Yang engkau katakan bahwa ia termasuk penduduk neraka, ia benar-benar hari itu telah berperang lalu ia mati.” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tetap mengatakan, “Ia penghuni neraka.” Sebagian orang pun terheran-heran dan tetap dalam keadaan seperti itu. Ternyata, ada yang menceritakan bahwa orang tersebut sebelum mati, ia memiliki luka yang cukup parah. Ketika di malam hari, ia tidak sabar menahan lukanya yang parah tersebut. Lalu ia pun membunuh dirinya sendiri. Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dikabarkan tentang hal ini. Kemudian beliau pun bersabda,

اللَّهُ أَكْبَرُ ، أَشْهَدُ أَنِّى عَبْدُ اللَّهِ وَرَسُولُهُ

Allahu akbar. Sesungguhnya aku bersaksi bahwa aku adalah hamba Allah dan Rasul-Nya.” 

Kemudian beliau pun memerintahkan Bilal dan beliau menyeru pada manusia,

إِنَّهُ لاَ يَدْخُلُ الْجَنَّةَ إِلاَّ نَفْسٌ مُسْلِمَةٌ ، وَإِنَّ اللَّهَ لَيُؤَيِّدُ هَذَا الدِّينَ بِالرَّجُلِ الْفَاجِرِ

Sesungguhnya seseorang tidak akan masuk surga kecuali jiwa yang muslim. Namun boleh jadi Allah akan memperjuangkan agama ini melalui orang yang fajir (bermaksiat).1



Faedah dari hadits di atas:

Pertama: Bukhari membawakan hadits ini dalam Bab “Allah akan menolong agama ini, walaupun melalui orang yang fajir (bermaksiat).

Kedua: An Nawawi membawakan hadits ini dalam Bab “Peringatan keras terhadap haramnya bunuh diri. Ingatlah bahwa seseorang yang membunuh dirinya sendiri akan disiksa di neraka dengan cara ia melakukan bunuh diri. Dan tidak akan masuk surga kecuali jiwa yang muslim.

Ketiga: Orang muslim pasti masuk surga. Namun boleh jadi dia masuk surga langsung. Dan boleh jadi ia masuk surga dengan terlebih dahulu mampir di neraka.2

Keempat: Bunuh diri termasuk dosa besar karena diancam neraka. Namun pelakunya tidaklah keluar dari Islam -selama tidak melakukan pembatal keislaman yang lain- karena ia masih disebut mukmin sebagaimana disebutkan dalam ayat berikut,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ إِلا أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً عَنْ تَرَاضٍ مِنْكُمْ وَلا تَقْتُلُوا أَنْفُسَكُمْ إِنَّ اللَّهَ كَانَ بِكُمْ رَحِيمًا , وَمَنْ يَفْعَلْ ذَلِكَ عُدْوَانًا وَظُلْمًا فَسَوْفَ نُصْلِيهِ نَارًا وَكَانَ ذَلِكَ عَلَى اللَّهِ يَسِيرًا

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamuDan barang siapa berbuat demikian dengan melanggar hak dan aniaya, maka Kami kelak akan memasukkannya ke dalam neraka. Yang demikian itu adalah mudah bagi Allah. (QS. An Nisa’: 29-30)

Kelima: Orang yang bunuh diri akan disiksa sebagaimana cara ia melakukan bunuh diri. Hal ini disebutkan dalam hadits lainnya.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ قَتَلَ نَفْسَهُ بِشَىْءٍ عُذِّبَ بِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ

Barangsiapa yang membunuh dirinya sendiri dengan suatu cara yang ada di dunia, niscaya kelak pada hari kiamat Allah akan menyiksanya dengan cara seperti itu pula.3

Contohnya adalah orang yang mati bunuh diri karena mencekik lehernya sendiri atau mati karena menusuk dirinya dengan benda tajam.

Dari Abu Hurairah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

الَّذِى يَخْنُقُ نَفْسَهُ يَخْنُقُهَا فِى النَّارِ ، وَالَّذِى يَطْعُنُهَا يَطْعُنُهَا فِى النَّارِ

Barangsiapa yang membunuh dirinya sendiri dengan mencekik lehernya, maka ia akan mencekik lehernya pula di neraka. Barangsiapa yang bunuh diri dengan cara menusuk dirinya dengan benda tajam, maka di neraka dia akan menusuk dirinya pula dengan cara itu.4

Keenam: Jangan tertipu dengan orang-orang yang memperjuangkan atau membela Islam, sampai kita ketahui bahwa mereka benar-benar berpegang teguh pada sunnah (ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam).5 Jadi semata-mata membela Islam dan membuat Islam semakin jaya belum tentu orang tersebut dikatakan berada di atas kebenaran sampai kita tahu bahwa ia memegang ajaran Nabi yang mulia shallallahu ‘alaihi wa sallam. Lihatlah orang yang bunuh diri yang disebutkan dalam hadits di atas. Dia memperjuangkan Islam dengan berjihad di jalan Allah, namun ia pun berbuat maksiat dengan bunuh diri.

Ketujuh: Memperjuangkan Islam semata-mata bukan dengan modal semangat, namun haruslah menempuh jalan yang benar sebagaimana yang ditempuh para salaf yang sholih.

Kedelapan: Penghafal al Qur’an boleh jadi ada yang fajir (berbuat maksiat). Begitu pula orang yang berjihad bisa saja orang fajir. Namun kesholihan mereka bukan berarti membenarkan kemaksiatan yang mereka lakukan.6

Demikian sedikit faedah yang bisa kami ambil dari hadits di atas sesuai keterbatasan ilmu kami. Semoga bermanfaat.

Segala puji bagi Allah yang dengan nikmat-Nya segala kebaikan menjadi sempurna.



Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel Muslim.Or.Id

Sumber: Dapatkan artikel menarik lainya di Muslim

Diam yang Menyelamatkan

Dari Abdullah bin ‘Amr radhiyallahu’anhuma, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang diam maka dia akan selamat.” (HR. Ahmad [6481] sanadnya disahihkan Syaikh Ahmad Syakir, lihat al-Musnad [6/36] dan disahihkan pula oleh Syaikh Abdullah bin Yusuf al-Judai’ dalam ar-Risalah al-Mughniyah fi as-Sukut wa Luzum al-Buyut, hal. 21-22 Bab Najatul Insan bi ash-Shamti wa Hifzhi al-Lisan)

Dari Abdullah bin ‘Amr radhiyallahu’anhuma, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Seorang muslim yang baik adalah yang membuat kaum muslimin yang lain selamat dari gangguan lisan dan tangannya. Dan seorang yang benar-benar berhijrah adalah yang meninggalkan segala perkara yang dilarang Allah.” (HR. Bukhari dalam Kitab al-Iman [10])

Dari Abu Musa radhiyallahu’anhu, beliau menceritakan bahwa para Sahabat bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Wahai Rasulullah! Islam manakah yang lebih utama?” Beliau menjawab, “Yaitu orang yang membuat kaum muslimin yang lain selamat dari gangguan lisan dan tangannya.” (HR. Bukhari dalam Kitab al-Iman [11] dan Muslim dalam Kitab al-Iman [42])

Imam an-Nawawi rahimahullah berkata, “Sabda beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Yaitu orang yang membuat kaum muslimin yang lain selamat dari gangguan lisan dan tangannya.” Maknanya adalah orang yang tidak menyakiti seorang muslim, baik dengan ucapan maupun perbuatannya. Disebutkannya tangan secara khusus dikarenakan sebagian besar perbuatan dilakukan dengannya.” (lihat Syarh Muslim [2/93] cet. Dar Ibnu al-Haistam)

Imam al-Khaththabi rahimahullah berkata, “Maksud hadits ini adalah

Apakah Dajjal Sudah Ada Pada Zaman Nabi?

Oleh
Dr. Yusuf bin Abdillah bin Yusuf al-Wabil


4. Apakah Dajjal Masih Hidup (Sekarang Ini)? Dan Apakah Dia Sudah Ada Pada Zaman Nabi Shallallahu 'alaihi wa Sallam?
Sebelum menjawab dua pertanyaan ini, hendaknya kita mengetahui keadaan Ibnu Shayyad, apakah dia Dajjal atau bukan?

Jika Dajjal itu bukan Ibnu Shayyad, apakah dia sudah ada sebelum ia menampakkan fitnahnya atau belum?

Dan sebelum menjawab pertanyan-pertanyaan ini, kami akan mengenal-kan Ibnu Shayyad terlebih dahulu.

a. Ibnu Shayyad.
Namanya adalah Shafi -ada juga yang mengatakan ‘Abdullah- bin Shayyad atau Shaa-id.[1]

Ia dari kalangan Yahudi Madinah, ada juga yang mengatakan dari ka-langan Anshar. Tatkala Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam datang ke Madinah, ia masih kanak-kanak.

Ibnu Katsir rahimahullah mengatakan bahwa ia masuk Islam, dan anaknya adalah ‘Umarah yang termasuk di antara Tabi’in yang terkemuka. Imam Malik rahimahullah dan yang lainnya meriwayatkan darinya.[2]

Imam adz-Dzahabi rahimahullah memuat biografi tentangnya dalam kitab ‘Tajriidu Asmaa-ish Shahaabah’, beliau berkata, “‘Abdullah bin Shayyad, Ibnu Syahin [3] menyebutkan dalam periwayatannya, ia berkata, ‘Dia adalah Ibnu Sha-id, ayahnya seorang Yahudi, ‘Abdullah dilahirkan dalam keadaan buta dan dalam keadaan telah dikhitan, dialah yang dikatakan orang sebagai Dajjal. Kemudian ia masuk Islam, ia termasuk kalangan Tabi’in, dan pernah melihat Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam (ketika masih kafir).” [4]

Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah dalam kitabnya al-Ishaabah, menyebutkan biografinya sebagaimana yang diutarakan oleh Imam adz-Dzahabi, selanjutnya ia berkata, “Di antara anaknya adalah ‘Umarah bin ‘Abdullah bin Shayyad, ia termasuk orang terkemuka di antara kaum muslimin, dan termasuk rekan Sa’id bin Musayyib. Imam Malik dan yang lainnya telah meriwayatkan hadits darinya.”

Kemudian Ibnu Hajar menyebutkan sejumlah hadits tentang Ibnu Shay-yad, sebagaimana akan kita sebutkan pada kesempatan berikutnya.

Selanjutnya beliau berkata, “Secara garis besar, mengkategorikan Ibnu Shayyad dalam golongan Sahabat tidak memiliki arti penting, sebab apabila ia benar-benar Dajjal, maka secara pasti ia tidak mungkin tergolong Sahabat karena kematiannya pasti dalam keadaan kafir. Akan tetapi jika tidak seperti itu, maka keadaan bertemunya dia dengan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam adalah saat dirinya belum masuk Islam.” [5]

Akan tetapi jika setelahnya ia

Baca juga yang ini:

Baca juga yang ini:

Recent Posts Widget

Komentar Terakhir